Teater Tikar Semarang :
Mengancam
Kenangan
Pementasan yang berjudul “Mengancam
Kenangan” dengan lakon pemain dari Teater Tikar Semarang karya Iruka Danishwara
dan sutradara Ibrahim Bhra. Kamis, 8 Oktober 2015, di Gedung Pusat Lantai 7
Universitas PGRI Semarang.
Seluruh makhluk pasti memiliki kenangan.
Kenangan yang baik dan buruk pasti akan selalu ada dalam pikiran seluruh
makhluk. Tak jarang kenangan di masa lalu menjadi bayang-bayang yang terus
menghantui di masa sekarang. Banyak yang berdamai atau melawan kenangan untuk
menghilangkan sebuah jejak di masalalu. Banyak pula yang gagal untuk berdamai dengan
kenangan. Sehingga mereka yang gagal berdamai dengan kenangan hidupnya selalu
dihantui bayang-bayang masalalu.
Mengancam Kenangan yang di sutradarai oleh
Ibrahim Bhra mengajak penonton untuk menyikapi kenangan secara bijak. Dengan suasana
yang bermacam. Eksplorasi gerak, nada dialog, ilustrasi serta setting menjadi keharusan.
Dengan lima pemeran, penyikapan dan penggambaran kenangan membawa penonton ikut
merasakan pahitnya kenangan masalalu pemeran yang harus di laluinya.
Kenangan yang hadir setiap hari. Tidak mengusik,
tidak juga berisik.
Awal pertunjukan dimunculkan melalui
seorang Nyonya tua yang sedang menggenggam gagang sapu dan menyapu teras
rumahnya. Kemudian empat pemeran lainnya menggambarkan dirinya sebagai pagi
yang berbisik kepada sang Nyonya. Secara bergantian dan dengan menggunakan
kostum seperti juba menggambarkan seseorang yang misterius seperti suara yang
ada pada pagi itu. Pagi itu berbisik, seakan-akan mereka tidak suka melihat
Nyonya yang setiap hari terus menangisi kenangan. Setiap hari hanya menyapu dan
membersihkan empat pigura. Menangisi empat pigura yang berjajar di ruang tamu. Seperti
sudah menjadi rutinitasnya, Nyonya selalu menangisi keempat pigura tersebut. Sang
pagi berbisik kepada Nyonya, seakan mereka menertawakan Nyonya dengan rutinitasnya.
Menunggu dan menangis. Tokoh yang memerankan Nyonya menghayati perannya
begitupun dengan keempat pemain lainnya.
Biarkan saja rindu meggunung agar dapat
kau mendakinya dan meretaskan hujan keresahan.
Selanjutnya pertunjukan di lanjutkan
dengan bak mandi sebagai propertinya. Seorang tokoh pria dan wanita memulai
percakapan mereka. Tokoh pria seperti kebingungan dan bersedih. Dia seperti
mencari-cari tokoh wanita. Tokoh wanita itupun selalu bertanya kepada tokoh
pria seakan-akan mereka saling bercakap. Namun tokoh pria ternyata hanya berbicara
dengan bayangan dari tokoh wanita saja. Dia
sangat merindukan tokoh wanita sehingga dia merasa tokoh wanita selalu ada
dalam bak mandi bersamanya. Aroma tubuh tokoh wanita selalu menghantui tokoh pria
sehingga dia selalu bersedih mengingat dan menahan kerinduan pada tokoh wanita.
Kemudian Nyonya itu masih dengan pigura
dan air matanya. Dalam adegan ini tampak keempat anak kecil yang sedang bermain
karet. Menggambarkan seperti anak-anaknya yang dahulu senang bermain. Dengan penuh
kegembiraan mereka terus bermain. Nyonya terlihat sangat sedih. Dia masih
mengingat kenangan di masalalunya hingga dia pun menangis. Keempat anak yang
sedang bermain tadipun mengingatkan bahwa Nyonya telah banyak menangis dan
masih membiarkan kenangan itu terus berada di ingatannya. Tapi Nyonya itu
seperti biasa tidak memperdulikannya.
Kepada bulan dan mentari, tidak bisakah
kita berdamai saja? Aku akan memberimu doa setiap pagi dan malam, kau memberi
aku lupa atas kenangan.
Pada bagian ini, Nyonya bercakap dengan
anak laki-lakinya. Membicarakan tentang Ayahnya yang telah pergi. Anak lelaki
itupun memerankan perannya seakan dia sedang bersedih dan ingin tahu cerita
tentang Ayahnya. Namun Nyonya enggan menceritakan tentang Ayah dari anaknya. Akhirnya
anaknya meminta untuk di ceritakan dongeng kepada Nyonya itu. Namun Nyonya itu
tidak juga menceritakan dongeng kepada anak-anaknya. Kemudian dia bernyanyi
menceritakan isi hatinya yang ingin berdamai dengan kenangan dan ingin
menjauhkan kenangan itu dari pikirannya. Tokoh Nyonya membawakan dialog ini
dengan nyanyian yang cukup mencuri perhatian penonton. Tanpa diiringi suara musik
tokoh Nyonya menyanyikan sepenggal dialog diiringi dengan mimik wajah yang
sedih.
Setelah itu, dua tokoh perempuan
membisikkan kepada Nyonya untuk melepaskan anak laki-lakinya yang akan pergi
sama seperti Ayahnya. Mereka membisikkan seolah-olah menghasut sang Nyonya
untuk menuruti perkataan mereka. Tapi sang Nyonya tentu saja menolak itu semua.
Ketika harapan itu sudah tidak ada,
sudah pupus sepenuhnya, maka aku memilih kenangan.
Adegan pada bagian ini diawali dengan
tokoh pria dan wanita. Tokoh wanita mengatakan jika ia tidak bisa berbicara
apalagi bercerita kepada tokoh pria. Saat itu tampak ada tokoh Nyonya yang
sedang bersedih, lalu tokoh pria yang merupakan anak laki-laki dari Nyonya
itupun meminta kepada Nyonya untuk menceritakan kemana Ayahnya pergi. Namun tetap
sama, tokoh Nyonya itu enggan bercerita kepada anaknya.
Kemudian tokoh pria itu terus memaksa
tokoh wanita untuk bercerita juga, namun sama seperti Nyonya, dia juga enggan
untuk bercerita.
Saling mengenang, saling mengancam. Saling
silang.
Selanjutnya penonton dibuat terdiam
dengan ungkapan hati dari tokoh Nyonya. Seketika tokoh wanita hadir lalu
menanyakan sampai kapan Nyonya akan terus menangisi kepergian anak dan suaminya.
Namun Nyonya tetap pada pendiriannya, bahwa dia akan terus menunggu anaknya. Karena
dia berpikir bahwa hanya anaknya yang bisa menghentikan tangisannya. Dengan latar
setting dinding yang penuh dengan debu membuat bagian pada pertunjukkan ini
semakin membawa penonton untuk masuk dan merasakan isi ceritanya. Ditambah dengan
tokoh yang mahir dalam membawakan dialog dengan ekspresi dan intonasi yang
tepat.
Sembunyikanlah sedalam yang kau bisa. Tutupilah
serapat yang kau mampu. Namun, aku tetap hadir dimanapun kau berada.
Di bagian ini tokoh pria dengan penuh
penghayatan meluapkan isi hatinya kepada Ayahnya. Tokoh pria dengan penuh
penghayatan dan konsentrasi memeluk sebuah patung yang telah di persiapkan. Tokoh
pria itupun memeluk dan mengungkapkan isi hatinya pada patung itu. Seolah-olah
dia sedang berbicara dengan seseorang. Sambil memeluk patung dan meluapkan isi
hatinya, tokoh pria juga membawa sebuah pisau. Dikeluarkannya pisau itu lalu
dibukanya. Sambil masih berbicara dan memeluk patung itu, tokoh pria kemudian
menyayat dan menusukkan pisau itu kebadan patung tersebut. Seketika keluarlah
darah dari patung tersebut. Sambil menusuk-nusuk
patung tersebut tokoh pria itu terus berbicara mengungkapkan kekesalan
dalam hatinya.
Apa yang memancing kenangan itu tetap
hadir? Adalah indera dan rasa.
Di bagian terakhir ini tokoh Nyonya
tetap tidak bisa menghilangkan kenangan yang lalu dari pikirannya, lalu
datanglah seorang tokoh perempuan yang masih menanyakan kapan Nyonya akan
mengakhiri kenangan itu yang sudah terjebak dalam kenangan masalalunya sendiri.
Tidak bisa berdamai. Tidak pula bisa menghilangkan.
Mengancam Kenangan hadir untuk memberikan
gambaran dan pelajaran betapa sulitnya melupakan dan menghilangkan masa lalu. Di
dukung dengan properti dan tokoh yang sudah mahir memerankan perannya
masing-masing membuat pertunjukan teater ini dapat membawa penonton
bertanya-tanya atas apa yang akan terjadi. Dengan alur mundur yang mengulang masalalu
membuat penonton tidak mudah untuk menebak jalan cerita dari pertunjukan
Mengancam Kenangan tersebut. Manusia yang harusnya mampu menempatkan kenangan
pada sisi yang baik dalam hidupnya untuk pembelajaran di masa depannya. Bagi orang
yang mampu dan berhasil berdamai dengan kenangan, dia akan menjadikannya
sebagai pembelajaran di masa selanjutnya. Tapi untuk mereka yang gagal berdamai
dengan kenangan, maka percumalah hidup di masa sekarang jika masa lalu masih
menghantui mereka. Baiknya menempatkan kenangan pada sisi yang objektif sebagai
pembelajaran di masa lampau yang akan berbuah manis dengan menjadikannya
sebagai pembelajaran di masa yang akan datang.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar