Sabtu, 10 Oktober 2015

Kenangan itu terlalu kejam (tugas pak naka)



Teater Tikar Semarang :
Mengancam Kenangan
Pementasan yang berjudul “Mengancam Kenangan” dengan lakon pemain dari Teater Tikar Semarang karya Iruka Danishwara dan sutradara Ibrahim Bhra. Kamis, 8 Oktober 2015, di Gedung Pusat Lantai 7 Universitas PGRI Semarang.
Seluruh makhluk pasti memiliki kenangan. Kenangan yang baik dan buruk pasti akan selalu ada dalam pikiran seluruh makhluk. Tak jarang kenangan di masa lalu menjadi bayang-bayang yang terus menghantui di masa sekarang. Banyak yang berdamai atau melawan kenangan untuk menghilangkan sebuah jejak di masalalu. Banyak pula yang gagal untuk berdamai dengan kenangan. Sehingga mereka yang gagal berdamai dengan kenangan hidupnya selalu dihantui bayang-bayang masalalu.
Mengancam Kenangan yang di sutradarai oleh Ibrahim Bhra mengajak penonton untuk menyikapi kenangan secara bijak. Dengan suasana yang bermacam. Eksplorasi gerak, nada dialog, ilustrasi serta setting menjadi keharusan. Dengan lima pemeran, penyikapan dan penggambaran kenangan membawa penonton ikut merasakan pahitnya kenangan masalalu pemeran yang harus di laluinya.
 












Kenangan yang hadir setiap hari. Tidak mengusik, tidak juga berisik.
Awal pertunjukan dimunculkan melalui seorang Nyonya tua yang sedang menggenggam gagang sapu dan menyapu teras rumahnya. Kemudian empat pemeran lainnya menggambarkan dirinya sebagai pagi yang berbisik kepada sang Nyonya. Secara bergantian dan dengan menggunakan kostum seperti juba menggambarkan seseorang yang misterius seperti suara yang ada pada pagi itu. Pagi itu berbisik, seakan-akan mereka tidak suka melihat Nyonya yang setiap hari terus menangisi kenangan. Setiap hari hanya menyapu dan membersihkan empat pigura. Menangisi empat pigura yang berjajar di ruang tamu. Seperti sudah menjadi rutinitasnya, Nyonya selalu menangisi keempat pigura tersebut. Sang pagi berbisik kepada Nyonya, seakan mereka menertawakan Nyonya dengan rutinitasnya. Menunggu dan menangis. Tokoh yang memerankan Nyonya menghayati perannya begitupun dengan keempat pemain lainnya.


Biarkan saja rindu meggunung agar dapat kau mendakinya dan meretaskan hujan keresahan.
Selanjutnya pertunjukan di lanjutkan dengan bak mandi sebagai propertinya. Seorang tokoh pria dan wanita memulai percakapan mereka. Tokoh pria seperti kebingungan dan bersedih. Dia seperti mencari-cari tokoh wanita. Tokoh wanita itupun selalu bertanya kepada tokoh pria seakan-akan mereka saling bercakap. Namun tokoh pria ternyata hanya berbicara dengan bayangan dari tokoh  wanita saja. Dia sangat merindukan tokoh wanita sehingga dia merasa tokoh wanita selalu ada dalam bak mandi bersamanya. Aroma tubuh tokoh wanita selalu menghantui tokoh pria sehingga dia selalu bersedih mengingat dan menahan kerinduan pada tokoh wanita.
Kemudian Nyonya itu masih dengan pigura dan air matanya. Dalam adegan ini tampak keempat anak kecil yang sedang bermain karet. Menggambarkan seperti anak-anaknya yang dahulu senang bermain. Dengan penuh kegembiraan mereka terus bermain. Nyonya terlihat sangat sedih. Dia masih mengingat kenangan di masalalunya hingga dia pun menangis. Keempat anak yang sedang bermain tadipun mengingatkan bahwa Nyonya telah banyak menangis dan masih membiarkan kenangan itu terus berada di ingatannya. Tapi Nyonya itu seperti biasa tidak memperdulikannya.

Kepada bulan dan mentari, tidak bisakah kita berdamai saja? Aku akan memberimu doa setiap pagi dan malam, kau memberi aku lupa atas kenangan.
Pada bagian ini, Nyonya bercakap dengan anak laki-lakinya. Membicarakan tentang Ayahnya yang telah pergi. Anak lelaki itupun memerankan perannya seakan dia sedang bersedih dan ingin tahu cerita tentang Ayahnya. Namun Nyonya enggan menceritakan tentang Ayah dari anaknya. Akhirnya anaknya meminta untuk di ceritakan dongeng kepada Nyonya itu. Namun Nyonya itu tidak juga menceritakan dongeng kepada anak-anaknya. Kemudian dia bernyanyi menceritakan isi hatinya yang ingin berdamai dengan kenangan dan ingin menjauhkan kenangan itu dari pikirannya. Tokoh Nyonya membawakan dialog ini dengan nyanyian yang cukup mencuri perhatian penonton. Tanpa diiringi suara musik tokoh Nyonya menyanyikan sepenggal dialog diiringi dengan mimik wajah yang sedih.
Setelah itu, dua tokoh perempuan membisikkan kepada Nyonya untuk melepaskan anak laki-lakinya yang akan pergi sama seperti Ayahnya. Mereka membisikkan seolah-olah menghasut sang Nyonya untuk menuruti perkataan mereka. Tapi sang Nyonya tentu saja menolak itu semua.

Ketika harapan itu sudah tidak ada, sudah pupus sepenuhnya, maka aku memilih kenangan.
Adegan pada bagian ini diawali dengan tokoh pria dan wanita. Tokoh wanita mengatakan jika ia tidak bisa berbicara apalagi bercerita kepada tokoh pria. Saat itu tampak ada tokoh Nyonya yang sedang bersedih, lalu tokoh pria yang merupakan anak laki-laki dari Nyonya itupun meminta kepada Nyonya untuk menceritakan kemana Ayahnya pergi. Namun tetap sama, tokoh Nyonya itu enggan bercerita kepada anaknya.
Kemudian tokoh pria itu terus memaksa tokoh wanita untuk bercerita juga, namun sama seperti Nyonya, dia juga enggan untuk bercerita.


Saling mengenang, saling mengancam. Saling silang.
Selanjutnya penonton dibuat terdiam dengan ungkapan hati dari tokoh Nyonya. Seketika tokoh wanita hadir lalu menanyakan sampai kapan Nyonya akan terus menangisi kepergian anak dan suaminya. Namun Nyonya tetap pada pendiriannya, bahwa dia akan terus menunggu anaknya. Karena dia berpikir bahwa hanya anaknya yang bisa menghentikan tangisannya. Dengan latar setting dinding yang penuh dengan debu membuat bagian pada pertunjukkan ini semakin membawa penonton untuk masuk dan merasakan isi ceritanya. Ditambah dengan tokoh yang mahir dalam membawakan dialog dengan ekspresi dan intonasi yang tepat.
Sembunyikanlah sedalam yang kau bisa. Tutupilah serapat yang kau mampu. Namun, aku tetap hadir dimanapun kau berada.














Di bagian ini tokoh pria dengan penuh penghayatan meluapkan isi hatinya kepada Ayahnya. Tokoh pria dengan penuh penghayatan dan konsentrasi memeluk sebuah patung yang telah di persiapkan. Tokoh pria itupun memeluk dan mengungkapkan isi hatinya pada patung itu. Seolah-olah dia sedang berbicara dengan seseorang. Sambil memeluk patung dan meluapkan isi hatinya, tokoh pria juga membawa sebuah pisau. Dikeluarkannya pisau itu lalu dibukanya. Sambil masih berbicara dan memeluk patung itu, tokoh pria kemudian menyayat dan menusukkan pisau itu kebadan patung tersebut. Seketika keluarlah darah dari patung tersebut. Sambil menusuk-nusuk patung tersebut tokoh pria itu terus berbicara mengungkapkan kekesalan dalam hatinya.

Apa yang memancing kenangan itu tetap hadir? Adalah indera dan rasa.
Di bagian terakhir ini tokoh Nyonya tetap tidak bisa menghilangkan kenangan yang lalu dari pikirannya, lalu datanglah seorang tokoh perempuan yang masih menanyakan kapan Nyonya akan mengakhiri kenangan itu yang sudah terjebak dalam kenangan masalalunya sendiri. Tidak bisa berdamai. Tidak pula bisa menghilangkan.

Mengancam Kenangan hadir untuk memberikan gambaran dan pelajaran betapa sulitnya melupakan dan menghilangkan masa lalu. Di dukung dengan properti dan tokoh yang sudah mahir memerankan perannya masing-masing membuat pertunjukan teater ini dapat membawa penonton bertanya-tanya atas apa yang akan terjadi. Dengan alur mundur yang mengulang masalalu membuat penonton tidak mudah untuk menebak jalan cerita dari pertunjukan Mengancam Kenangan tersebut. Manusia yang harusnya mampu menempatkan kenangan pada sisi yang baik dalam hidupnya untuk pembelajaran di masa depannya. Bagi orang yang mampu dan berhasil berdamai dengan kenangan, dia akan menjadikannya sebagai pembelajaran di masa selanjutnya. Tapi untuk mereka yang gagal berdamai dengan kenangan, maka percumalah hidup di masa sekarang jika masa lalu masih menghantui mereka. Baiknya menempatkan kenangan pada sisi yang objektif sebagai pembelajaran di masa lampau yang akan berbuah manis dengan menjadikannya sebagai pembelajaran di masa yang akan datang.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar