Sabtu, 24 Oktober 2015

Wayang Kampung Sebelah " MAWAS DIRI MENAKAR BERANI "



Ulasan Pagelaran Wayang Kampung Sebelah







“MAWAS DIRI MENAKAR BERANI”



Oleh Dina Noviana Prihandini













Dalam rangka rangkaian acara memperingati Bulan Bahasa, Universitas PGRI Semarang mengadakan pergelaran Wayang Kampung Sebelah. Di laksanakan pada tanggal 20 Oktober 2015 di Balairung Universitas PGRI Semarang, pukul 09.00.




Warung kampung sebelah (WKS) adalah sekelompok para pecinta seni. Terdiri dari dalang yaitu Ki Slideng Suparman, para pemain musik dan juga seorang sinden. Tak lupa perlengkapan pentas mereka yaitu wayang dengan berbagai bentuk dan tentunya alat musik untuk mengiringi pergelaran. Semua pemain musik mengenakan pakaian yang seragam, dan sinden tentu dengan dandanan yang cantik, serta pakaian dalang yang serba hitam. Saat itu mereka membawakan judul pentas “Mawas Diri Menakar Berani”. Acara dimulai dengan nyanyian yang di nyanyikan seorang sinden dan di iringi dengan musik. Setelah lagu usai mulailah dalang membuka acara dengan dua wayang sebagai pembukanya.  Pertunjukan dimulai dengan kegiatan pemilu yang dibawakan dengan berbahasa jawa. Saat itu tampak dalang dengan mahir memerankan tokoh seorang laki-laki tua yang tengah kebingungan mencari papan tulis untuk perhitungan suara pemilu.



Sesaat setelah memerankan tokoh lelaki tua, suara dalang itupun berubah memerankan tokoh keamanan di kampung tersebut. Tak tanggung dua petugas keamanan di perankannya tentu saja dengan suara dan gaya-gaya yang berbeda. Petugas keamanan pertama yang bernama Parjo tidak tahu tentang papan tulis yang hilang itu. Sementara petugas keamanan kedua yaitu Sodrun, merasa dirinya di fitnah oleh lelaki tua itu yang bernama Eyang Sidik. Dengan pandainya, sang dalang bersuara seperti orang menangis dan sesekali beradu mulut dengan Eyang Sidik. Lalu dalang memunculkan lagi satu tokoh wayang yaitu Suto yang ternyata dialah yang mengambil papan tulis.




Kemudian dalang memunculkan beberapa tokoh wayang sekaligus dalam rangka memprotes soal pilkades. Lelucon yang disisipkan dalang mengundang tawa penonton. Disamping lelucon dan guyonan tentu ada pelajaran-pelajaran yang di sisipkan di dalamnya, seperti pentingnya memilih calon pemimpin yang berkualitas dan berbicara tentang money politic atau politik uang saat pemilu. Adegan terlihat serius saat dalang berperan sebagai salah seorang warga yang miskin. Dia memprotes kepada pemimpin desa yang baru tentang masih mahalnya pendidikan dan pelayanan kesehatan, yang kaya makin kaya, tapi yang miskin makin miskin. Saat adegan tersebut berlangsung sedikit guyonan yang di sisipkan, pembicaraannya tentang hal yang serius.




Usai itu dalang menampilkan beberapa penyanyi terkenal. Diiringi dengan musik, dalang mulai menirukan gaya-gaya penyanyi tersebut saat di panggung. Keahlian yang tidak semua orang bisa, dengan gerakan tangan yang lincah yang mengundang tawa penonton menjadikan pertunjukan WKS sangat menghibur yang menontonnya. Beberapa lagu di bawakan dengan wayang yang berbeda dan tentunya dengan gaya yang berbeda pula saat menyanyi.




Pada akhir pementasan, semua tokoh utama yaitu para warga dan lurah yang baru juga polisi berkumpul. Disitu dalang memerankan banyak tokoh sekaligus, tapi tidak ada kesalahan yang dilakukan dalang dalam segi suara. Semua tokoh memiliki suara yang berbeda. Dibawakan apik oleh dalang Ki Slideng Suparman.



Di akhir pementasan ini, banyak pesan yang dapat di ambil. Negara kita harus terbebas dari kepentingan politik para pejabat elit yang hanya memanfaatkan para warga. Pemilu dijadikan ajang untuk berpolitik, baik politik uang, politik untuk kepentingan pribadi. Jarang sekali pemilu yang dijadikan tempat atau wadah untuk benar-benar menampung aspirasi rakyat, yang benar-benar untuk kepentingan rakyat. Kita harus pandai memilih pemimpin bangsa, jangan hanya terbuai oleh janji-janji manis dan hak kita untuk memilih bisa di beli dengan uang. Kita harus jeli dalam menentukan pilihan karena ini merupakan kepentingan kita bersama. 

Kepentingan bangsa dan negara. Bangsa menjadi baik jika pemimpinnya pun baik, tapi bangsa akan menjadi buruk jika pemimpinnya buruk. Saat ini banyak pemimpin yang menghianati bangsa sendiri, mereka memakan uang rakyat untuk kepentingan pribadinya. Jadi, perubahan bangsa ke fase yang lebih baik tergantuk pada pilihan kita semua.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar