Ulasan Pentas Jaka
Tarub dan Monolog Balada Sumarah
Bahagia Sesaat, Sedih Seterusnya
Drama Jaka Tarub
Pada
hari Selasa 4 Oktober 2016 Teater Gema Universitas PGRI Semarang menggelar
pentas Jaka Tarub dan Monolog Balada Sumarah di Gedung Pusat Lantai 7
Universitas PGRI Semarang. Sayang sekali, pertunjukan yang dijadwalkan akan
dipentaskan pukul 15.00 atau pada pukul tiga sore harus ngaret dan terlambat
sampai hampir 30 menit. Mahasiswa yang
sudah membeli tiket dan bersiap untuk masuk pun harus menunggu berdesak-desakan
di depan pintu gedung, menunggu pintu di buka oleh panitia.
Pentas
dibuka dengan pementasan drama kisah Jaka Tarub. Dengan diikuti properti yang
mendukung, seperti gubuk, sungai buatan, awan-awan, rumput dan pepohonan
beserta padi menjadi pendukung pementasan drama tersebut. Selain itu, penataan
lighting atau pencahayaan sangat membantu dalam pementasan Jaka Tarub tersebut.
Pementasan
diawali dengan adegan seorang kakek tua yang sedang tertidur di depan rumahnya.
Ternyata kakek tersebut adalah Jaka Tarub yang mengigau saat tidur dengan
memanggil-manggil nama Nawang anaknya. Nawang pun merasa kaget dan langsung
menjawab panggilan Ayahnya tersebut. Mereka berdua pun akhirnya berada di luar
rumah dan memandang ke bintang-bintang yang kebetulan malam itu adalah malam
bulan purnama. Sesaat setelah Nawang masuk kembali ke rumah, Ayah Nawang
berbicara sendiri kalau dia tidak mau kehilangan anak satu-satunya itu. Peran
yang di mainkan sudah bagus, dengan pemain menggunakan pakaian tradisional dan
rumah yang ditempati juga sangat sederhana seperti rumah-rumah jaman dahulu.
Selain itu, pemain juga totalitas dalam menjalankan perannya didukung dengan
make up yang sesuai. Contohnya pada saat Ayahnya mencium kening Nawang, tidak
terlihat kesungkanan atau kecanggungan diantara keduanya karena adanya
totalitas peran.
Setelah
itu, cerita tersebut seakan flashback atau kembali pada masa-masa dimana Jaka
Tarub masih remaja atau dewasa. Pada saat itu, menceritakan kejadian saat ada
tujuh orang bidadari yang turun ke bumi hanya pada bulan purnama. Mereka semua
mandi di sungai, saat itu Jaka Tarub ternyata sedang berada di sungai tersebut
juga. Jaka Tarub ternyata sangat terobsesi untuk menikah dengan seorang
bidadari. Alangkah kebetulannya, para bidadari tersebut mandi tanpa memakai
pakaian serta selendang mereka. Akhirnya, dengan sigap Jaka Tarub segera mengambil
selendang salah satu dari tujuh bidadari tersebut. Pada bagian ini, terdapat
sebuah adegan yang entah itu adegan di sengaja atau diluar skenario cerita. Adanya
adegan salah satu diantara tujuh bidadari tersebut saat menuruni anak tangga
yang dibalut oleh kain hitam, terjatuh. Keadaan saat itu sempat hening
seketika, namun selang beberapa detik para bidadari yang lain segera
menolongnya dengan luwes dan masih dalam konteks cerita. Jika kejadian itu
diluar skenario, improfisasi yang dilakukan sangat membantu sehingga tidak
menghancurkan dan menghentikan pertunjukan.
Cerita
berlanjut pada hilangnya selendang salah satu bidadari. Dia bernama Nawang
Wulan. Dia tinggal di bumi untuk mencari selendangnya dan ditinggalkan oleh
para bidadari yang lain. Dia pun berkata “jika yang mengambil laki-laki akan
dia jadikan suami, jika perempuan akan dijadikannya saudara”. Perkataan itu pun
didengar oleh Jaka Tarub, dengan hati gembira dia langsung bergegas pergi ke
rumahnya dan menyembunyikan selendang itu. Pergilah kemudian Jaka Tarub menemui
Nawang Wulan untuk menagih perkataannya itu. Akhirnya mereka pun menikah dan
mempunyai seorang putri bernama Nawangsih. Pada saat bagian ini, tidak ada yang
istimewa dari pemain. Hanya permainan drama yang biasa. Sampai akhirnya, muncul
lah dua orang pemain sebagai Tomo dan Topo yang berhasil mengocok perut
penonton karena tingkah laku yang mereka perankan.
Konflik
mulai muncul saat Nawang Wulan pergi mencuci ke sungai dan menitipkan anak
serta meminta Jaka Tarub untuk tidak membuka tutup nasi yang sedang di masaknya
di dapur. Rasa penasaran yang sangat tinggi akhirnya membawa Jaka Tarub untuk
melihat isi dari panci tersebut, ternyata hanya terdapat sebatang padi. Dia pun
bertanya-tanya dalam hatinya, kenapa bisa istrinya hanya menanak nasi dengan
sebatang padi. Jaka Tarub pun bertanya saat Nawang Wulan datang, namun ternyata
Nawang Wulan pun marah pada Jaka, dan saat itu kehilangannya hilang dan ia
menemukan selendangnya yang ternyata di sembunyikan oleh Jaka Tarub. Ia pun
kemudian meninggalkan Jaka Tarub. Konflik yang terjadi pada bagian ini kurang
menegangkan bagi penonton, bukan seperti sedang terjadi konflik/masalah,
melainkan hanya pertunjukan biasa tanpa konflik/masalah. Pemain kurang berhasil
membawa penonton masuk ke dalam cerita ini.
Begitu
pun saat adegan dimana Jaka Tarub menangis saat Nawang Wulan pergi, kurang
mendapat perhatian penonton. Seperti tidak berhasil menghanyutkan penonton di
dalam duka Jaka Tarub yang kehilangan Nawang Wulan. Namun di samping itu, drama
Jaka Tarub tersebut berjalan dengan lancar dan cukup menghibur bagi penonton.
Monolog Balada Sumarah
Di awal pertunjukan monolog balada Sumarah ini, penonton
dikagetkan dengan keluarnya seorang perempuan yang tiba-tiba saja sudah berada di
dalam kotak kayu. Perempuan tersebut keluar dengan ekspresi wajah yang
seakan-akan menahan amarah yang sangat menggelora. Mengisahkan tentang seorang
perempuan bernama Sumarah, seorang lulusan SMA dengan nilai tertinggi.
Sangat
menakjubkan kisah seorang TKW dan seorang pembunuh. Di bawakan dengan sangat
bagus dan menawan. Pemain juga sangat pintar dalam memainkan berbagai peran,
seperti saat memerankan Pak Kasirun seorang guru ngaji yang sudah tua,
memerankan nenek-nenek yang tidak mau memberikan Sumarah surat-surat yang dia
butuhkan, begitu pun saat memerankan peran sebagai tetangganya. Semuanya sangat
totalitas, dan penuh ekspresi.
Menceritakan riwayat dan kisah hidupnya yang
pergi ke Arab untuk menghindari cemoohan semua orang tentang bapaknya yang
bekerja di koperasi PKI, sampai gajinya yang tak kunjung di bayar. Perlakuan
senonoh yang tidak di terimanya juga di ceitakan lewat bahasa tubuh yang sangat
bagus dengan penjiwaan yang penuh, sampai akhinya Sumarah pun membunuh
majikannya sendiri. Semua dilakukan hanya menggunakan sebuah kotak kayu. Sangat
simpel dan sederhana, tapi isi dan penampilan di dalamnya sangat mengesankan.
-Dina
Noviana Prihandini, Mahasiswa Universitas PGRI Semarang