Sabtu, 24 Desember 2016

Tugas P. Naka : "Ulasan Pentas Jaka Trub dan Monolog Balada Sumarah"



Ulasan Pentas Jaka Tarub dan Monolog Balada Sumarah

Bahagia Sesaat, Sedih Seterusnya
Drama Jaka Tarub
Pada hari Selasa 4 Oktober 2016 Teater Gema Universitas PGRI Semarang menggelar pentas Jaka Tarub dan Monolog Balada Sumarah di Gedung Pusat Lantai 7 Universitas PGRI Semarang. Sayang sekali, pertunjukan yang dijadwalkan akan dipentaskan pukul 15.00 atau pada pukul tiga sore harus ngaret dan terlambat sampai hampir 30 menit.  Mahasiswa yang sudah membeli tiket dan bersiap untuk masuk pun harus menunggu berdesak-desakan di depan pintu gedung, menunggu pintu di buka oleh panitia.
Pentas dibuka dengan pementasan drama kisah Jaka Tarub. Dengan diikuti properti yang mendukung, seperti gubuk, sungai buatan, awan-awan, rumput dan pepohonan beserta padi menjadi pendukung pementasan drama tersebut. Selain itu, penataan lighting atau pencahayaan sangat membantu dalam pementasan Jaka Tarub tersebut.
Pementasan diawali dengan adegan seorang kakek tua yang sedang tertidur di depan rumahnya. Ternyata kakek tersebut adalah Jaka Tarub yang mengigau saat tidur dengan memanggil-manggil nama Nawang anaknya. Nawang pun merasa kaget dan langsung menjawab panggilan Ayahnya tersebut. Mereka berdua pun akhirnya berada di luar rumah dan memandang ke bintang-bintang yang kebetulan malam itu adalah malam bulan purnama. Sesaat setelah Nawang masuk kembali ke rumah, Ayah Nawang berbicara sendiri kalau dia tidak mau kehilangan anak satu-satunya itu. Peran yang di mainkan sudah bagus, dengan pemain menggunakan pakaian tradisional dan rumah yang ditempati juga sangat sederhana seperti rumah-rumah jaman dahulu. Selain itu, pemain juga totalitas dalam menjalankan perannya didukung dengan make up yang sesuai. Contohnya pada saat Ayahnya mencium kening Nawang, tidak terlihat kesungkanan atau kecanggungan diantara keduanya karena adanya totalitas peran.
Setelah itu, cerita tersebut seakan flashback atau kembali pada masa-masa dimana Jaka Tarub masih remaja atau dewasa. Pada saat itu, menceritakan kejadian saat ada tujuh orang bidadari yang turun ke bumi hanya pada bulan purnama. Mereka semua mandi di sungai, saat itu Jaka Tarub ternyata sedang berada di sungai tersebut juga. Jaka Tarub ternyata sangat terobsesi untuk menikah dengan seorang bidadari. Alangkah kebetulannya, para bidadari tersebut mandi tanpa memakai pakaian serta selendang mereka. Akhirnya, dengan sigap Jaka Tarub segera mengambil selendang salah satu dari tujuh bidadari tersebut. Pada bagian ini, terdapat sebuah adegan yang entah itu adegan di sengaja atau diluar skenario cerita. Adanya adegan salah satu diantara tujuh bidadari tersebut saat menuruni anak tangga yang dibalut oleh kain hitam, terjatuh. Keadaan saat itu sempat hening seketika, namun selang beberapa detik para bidadari yang lain segera menolongnya dengan luwes dan masih dalam konteks cerita. Jika kejadian itu diluar skenario, improfisasi yang dilakukan sangat membantu sehingga tidak menghancurkan dan menghentikan pertunjukan.
Cerita berlanjut pada hilangnya selendang salah satu bidadari. Dia bernama Nawang Wulan. Dia tinggal di bumi untuk mencari selendangnya dan ditinggalkan oleh para bidadari yang lain. Dia pun berkata “jika yang mengambil laki-laki akan dia jadikan suami, jika perempuan akan dijadikannya saudara”. Perkataan itu pun didengar oleh Jaka Tarub, dengan hati gembira dia langsung bergegas pergi ke rumahnya dan menyembunyikan selendang itu. Pergilah kemudian Jaka Tarub menemui Nawang Wulan untuk menagih perkataannya itu. Akhirnya mereka pun menikah dan mempunyai seorang putri bernama Nawangsih. Pada saat bagian ini, tidak ada yang istimewa dari pemain. Hanya permainan drama yang biasa. Sampai akhirnya, muncul lah dua orang pemain sebagai Tomo dan Topo yang berhasil mengocok perut penonton karena tingkah laku yang mereka perankan.
Konflik mulai muncul saat Nawang Wulan pergi mencuci ke sungai dan menitipkan anak serta meminta Jaka Tarub untuk tidak membuka tutup nasi yang sedang di masaknya di dapur. Rasa penasaran yang sangat tinggi akhirnya membawa Jaka Tarub untuk melihat isi dari panci tersebut, ternyata hanya terdapat sebatang padi. Dia pun bertanya-tanya dalam hatinya, kenapa bisa istrinya hanya menanak nasi dengan sebatang padi. Jaka Tarub pun bertanya saat Nawang Wulan datang, namun ternyata Nawang Wulan pun marah pada Jaka, dan saat itu kehilangannya hilang dan ia menemukan selendangnya yang ternyata di sembunyikan oleh Jaka Tarub. Ia pun kemudian meninggalkan Jaka Tarub. Konflik yang terjadi pada bagian ini kurang menegangkan bagi penonton, bukan seperti sedang terjadi konflik/masalah, melainkan hanya pertunjukan biasa tanpa konflik/masalah. Pemain kurang berhasil membawa penonton masuk ke dalam cerita ini.
Begitu pun saat adegan dimana Jaka Tarub menangis saat Nawang Wulan pergi, kurang mendapat perhatian penonton. Seperti tidak berhasil menghanyutkan penonton di dalam duka Jaka Tarub yang kehilangan Nawang Wulan. Namun di samping itu, drama Jaka Tarub tersebut berjalan dengan lancar dan cukup menghibur bagi penonton.
Monolog Balada Sumarah
            Di awal pertunjukan monolog balada Sumarah ini, penonton dikagetkan dengan keluarnya seorang perempuan yang tiba-tiba saja sudah berada di dalam kotak kayu. Perempuan tersebut keluar dengan ekspresi wajah yang seakan-akan menahan amarah yang sangat menggelora. Mengisahkan tentang seorang perempuan bernama Sumarah, seorang lulusan SMA dengan nilai tertinggi.
Sangat menakjubkan kisah seorang TKW dan seorang pembunuh. Di bawakan dengan sangat bagus dan menawan. Pemain juga sangat pintar dalam memainkan berbagai peran, seperti saat memerankan Pak Kasirun seorang guru ngaji yang sudah tua, memerankan nenek-nenek yang tidak mau memberikan Sumarah surat-surat yang dia butuhkan, begitu pun saat memerankan peran sebagai tetangganya. Semuanya sangat totalitas, dan penuh ekspresi.
 Menceritakan riwayat dan kisah hidupnya yang pergi ke Arab untuk menghindari cemoohan semua orang tentang bapaknya yang bekerja di koperasi PKI, sampai gajinya yang tak kunjung di bayar. Perlakuan senonoh yang tidak di terimanya juga di ceitakan lewat bahasa tubuh yang sangat bagus dengan penjiwaan yang penuh, sampai akhinya Sumarah pun membunuh majikannya sendiri. Semua dilakukan hanya menggunakan sebuah kotak kayu. Sangat simpel dan sederhana, tapi isi dan penampilan di dalamnya sangat mengesankan.

-Dina Noviana Prihandini, Mahasiswa Universitas PGRI Semarang

Tidak ada komentar:

Posting Komentar